“Nabi Ibrahim Sebagai Teladan Pendobrak Kebobrokan Zaman”

“Nabi Ibrahim Sebagai Teladan Pendobrak Kebobrokan Zaman”

Segala puji hanya milik Allah, Pemilik mutlak seluruh jagat raya beserta segala isinya. Dari partikel paling kecil yang tak tampak oleh mata, hingga materi terbesar yang membentang memenuhi cakrawala semesta—semuanya berada dalam genggaman dan pengaturan-Nya.

Pernahkah terlintas di benak kita—bahwa gugusan bintang yang bertebaran di langit luas, planet-planet yang beredar dalam orbitnya, hingga debu kosmik yang tak terlihat, semuanya berdzikir dalam deru tasbih kepada-Nya? Dan jika kita menelusuri lebih dalam, menembus batas mikrokosmos hingga ke struktur atom yang tak kasat mata, di sana pun terdapat gelombang dan partikel yang bergerak taat dalam hukum-Nya, bertaḥmid dalam harmoni yang lembut, seolah menyanyikan pujian kepada Rabb-nya.

Allah Ta’ala berfirman:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
(QS. Al-Isra’: 44)

Ayat ini memberikan isyarat bahwa segala ciptaan Allah—baik yang besar maupun yang kecil—memiliki kesadaran akan keberadaannya di bawah kuasa sang Pencipta, dan mereka bertasbih sesuai dengan caranya masing-masing.

Dalam fisika modern, Brian Greene, seorang fisikawan teori dan penulis buku The Elegant Universe, menjelaskan bahwa alam semesta tunduk pada hukum-hukum fisika yang amat presisi dan matematis. Ia menggambarkan bahwa ada keteraturan dan kesatuan sistem kosmik yang luar biasa, dan bahkan partikel terkecil pun bergerak dalam pola-pola yang harmonis, seperti simfoni yang agung.

Dari sinilah kita dapat merenungkan bahwa materi dan energi yang terdapat dalam partikel kecil memiliki keterkaitan satu sama laian dan bergerak dalam kesatuan dan keharmonisan yang tidak tercipta secara kebetulan. Walaupun ukurannya berbeda, mereka terikat dalam satu sistem hukum yang seragam, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta.

Maka ketika manusia mengucapkan tasbih dan tahmid sesungguhnya ia sedang menyelaraskan dirinya dengan simfoni alam semesta. Ia menjadi bagian dari gelombang besar yang tak identifikasi oleh pengetahuan manusia. dari lubuk jiwa nya terdalam, ada kekaguman yang melumpuhkan kesombongan dan kefanatikan akan superioritas akalnya.

 رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا باطِلاً سُبْحانَكَ فَقِنا عَذابَ النَّارِ

“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”

 

Manusia melakukan tradisi peribadatan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, seringkali tradisi itu bukan bersandar pada wahyu Ilahi, melainkan lahir dari sangkaan-sangkaan kosong belaka. Ia diwariskan turun-temurun, dibungkus dalih “inilah ajaran leluhur kami.” Siapa pun yang berani berbeda dianggap mengkhianati nilai-nilai suci yang konon harus dijaga.

Padahal, meskipun zaman telah diterangi cahaya ilmu, bangunan menjulang tinggi, dan kecerdasan buatan hadir menantang batas akal manusia, arus tradisi yang keliru itu tetap tak terbendung. Sejarah mencatat,  Di tengah kegelapan zaman itulah Nabi Ibrahim berdiri bukan hanya sebagai pemuda yang berani, melainkan sebagai lentera yang menantang kegelapan malam. Nabi Ibrahim tampil sebagai sosok pendobrak kebekuan, penggerak arah baru. Beliau melawan tradisi yang mengikis tauhid, karena kesyirikan bukan hanya menyesatkan akal sehat, tetapi juga karena meruntuhkan martabat dan mentalitas manusia.

Allah mengabadikan kisah keberaniannya:

إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ (52) قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ (53) قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ (54) قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللاعِبِينَ (55) قَالَ بَل رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ (56) }

 (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadat kepadanya?” Mereka menjawab, “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam kesesatan yang nyata.” Mereka menjawab, “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?” Ibrahim berkata, “Sebenarnya Tuhan kalian ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.”

Dari ayat ini, tampak jelas bagaimana Nabi Ibrahim tampil sebagai teladan pendobrak tradisi yang rusak. Ia mempertanyakan fondasi keyakinan kaumnya, membangunkan nalar mereka yang tertidur, dan mengajak mereka mengevaluasi kepercayaan yang diwariskan turun-temurun, yang jauh dari cahaya kebenaran. Namun lihatlah bagaimana kaumnya menjawab:

“Kami hanya mengikuti tradisi leluhur kami.”

Jawaban itu diabadikan Allah, karena ia bukan hanya milik kaum Ibrahim, tetapi terus diulang hingga zaman modern ini. Masih banyak manusia hari ini yang berlindung di balik alasan yang sama yaitu membungkus kesesatan dengan nama warisan terdahulu.

Dengan strategi yang brilian dan kecerdasan yang luar biasa, Nabi Ibrahim menghancurkan semua berhala kaumnya akan tetapi ia menyisakan satu, yang terbesar. Sebuah tindakan penuh makna, yang menjadi awal dari tamparan logika yang mengguncang keyakinan palsu mereka.

Ketika kaumnya datang dan bertanya, “Siapa yang melakukan ini terhadap tuhan-tuhan kami?”, Nabi Ibrahim menjawab dengan sindiran yang menusuk:

Tanyakan saja kepada berhala berhala yang tak berdaya itu jika memang ia bisa berbicara!”

Seketika, mereka terdiam. Lidah mereka kelu. Mereka tahu, berhala itu tak mampu berkata-kata. Maka bagaimana mungkin mereka menyembah sesuatu yang bisu, tak berdaya, dan tak mampu membela dirinya sendiri?

Inilah puncak kecemerlangan Nabi Ibrahim: menghancurkan kebatilan dengan logika yang tak terbantahkan, sekaligus membangunkan akal sehat yang telah lama tertidur.

Dan ketika argumen sudah tak bisa mereka bantah, mereka memilih kekerasan. Maka berkatalah Nabi Ibrahim dengan kalimat yang mengguncang batin mereka:

أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ”

“Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Tidakkah kalian berpikir?

Kaumnya pun memutuskan membakar Nabi Ibrahim. Tapi sejatinya, bukan api mereka yang membakar Nabi Ibrahim melainkan Nabi Ibrahim-lah yang membakar logika akal mereka dengan kebenaran, sebagaimana kayu-kayu itu hangus dilalap api.

Namun Allah tidak tinggal diam. Allah selamatkan kekasih-Nya dari kobaran api itu. Itu merupakan sebuah pertanda yang abadi, bahwa Allah selalu berpihak pada yang mereka yang menyuarakan kebenaran.

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

Maka jangan pernah ragu untuk berdiri di jalan kebenaran. Sekalipun dunia menyalakan api terhadapmu, yakinlah, Allah akan memadamkannya.

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dikenal sebagai sosok yang menghancurkan berhala-berhala, simbol kebatilan yang disembah manusia. Tapi sering kali kita lupa untuk menalar lebih jauh, bahwa sebelum menghancurkan berhala-berhala kaumnya, nabi Ibrahim telah lebih dahulu menghancurkan berhala yang jauh lebih berat: berhala dalam dirinya sendiri.

Berhala hari ini tak selalu berupa patung. Ia bisa berupa ambisi untuk dipuji, keinginan tampil menonjol, atau nafsu yang tak pernah puas. Kalau berhala ini kita pelihara, meski kecil, ia akan tumbuh dan perlahan menggiring kita ke jurang kehancuran. Dari situlah kekacauan lahir: ketika hawa nafsu diberi tahta, pemiliknya dibuatnya jadi budak, maka kebenaran hanya jadi alat belaka.

Allah sebutkan jenis berhala yang lebih kuat menghancur dan menutup cahaya kebenaran.

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً ۚ فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat dengan ilmu-Nya, serta mengunci pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapa lagi yang akan memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Tidakkah kamu mengambil pelajaran?”
(QS. Al-Jatsiyah: 23)

Berhala dalam diri manusia inilah yang telah menciptakan ilusi optik, kebenaran yang tertukar, yang haram justru tampak memikat, bahkan dianggap biasa.

  • Korupsi dibisikkan dengan kalimat “asal jangan ketahuan”
  • Zina di balik pintu hotel disamarkan sebagai “bonus kerja”
  • Uang politik dibungkus “sedekah demokrasi”
  • Gratifikasi dirayakan sebagai “hadiah silaturahmi”

Manusia yang dikuasai oleh hawa nafsunya bukan sekadar lemah, tapi sudah terjajah. Akalnya menjadi alat tipu daya. Tak lagi membimbing, tapi memanipulasi. Akal tak lagi mencari kebenaran, tapi merancang kelicikan. Nafsu akan kekayaan dan kemegahan dunia telah membuat manusia menjual agamanya, menggadaikan moralnya, dan mencabik-cabik kemanusiaannya sendiri demi kenikmatan semu yang tak seberapa.

Masalahnya bukan pada siapa yang kaya atau miskin, bukan pula pada status dan jabatan. Karena tak ada jaminan bahwa si miskin terbebas dari berhala dunia. Ini adalah persoalan jiwa terdalam. Kerakusan tak mengenal umur, tak peduli jabatan. Tapi siapa pun yang memiliki, sesungguhnya ia sedang memegang bahan peledak yang bisa menghancurkan hidupnya sendiri. Dia rela menggadaikan diri sampai menjual agamanya.

.Rasulullah ﷺ bersabda:

ما ذِئبانِ جائعانِ أُرْسِلا في غنَمٍ، بأفسدَ لها من حرصِ المرءِ على المالِ والشرفِ لدينِهِ

“Dua ekor serigala lapar yang dilepaskan ke tengah kawanan domba tidak lebih merusak dibandingkan ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan terhadap agamanya.”
(HR. Tirmidzi, hasan shahih)

Serigala hanya mengikuti nalurinya. Ia memang binatang buas, dan kelaparannya adalah kodrat. Tapi manusia yang rakus—yang menjadikan harta dan jabatan sebagai tuhannya—ia menjelma menjadi lebih buas daripada serigala. Ia tahu itu salah, tapi tetap melakukannya. Dia tahu itu haram, tapi tetap mengejarnya. Ia tahu itu merusak, tapi tetap mempertahankannya.

Agama yang seharusnya menjadi pagar bagi keburukan, penjaga dari yang haram, penuntun kepada kemaslahatan malah diinjak-injak demi kerakusan.

Yang lebih parah, berhala ini sudah masuk keranah intelektual. Ketika para cendikiawan mulai menjadi penyembah materi. Dulu dibanggakan dan dielu elukan untuk dapat membawa angin segar perubahan. Namun, berhala yang bersemayam jauh lebih kuat dan membawa pengaruh untuk mereka. Buku-buku yang mereka susun rapi diperpustakan sudah menjadi lapuk dan berdebu, ide ide jernih hasil perenungan yang mendalam menjadi keruh dan berbau karena hawa nafsu yang membara. Kata-kata yang seharusnya menjadi suara bagi kebenaran dan keadilan tapi malah menjadi selimut bagi kezaliman. Pujian diarahkan kepada tirani, sementara kritik ditimpakan kepada rakyat jelata. Cendikiawan yang semacam ini, digambarkan dengan apik dan tajam oleh al-Quran dengan symbol  “anjing yang sedang menjulurkan lidahnya”.

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu meng­halaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.

Kita benar benar sudah dirusak berhala modern, kaum intelektual yang diharapkan nasehat nasehatnya, justu seperti disumpal dengan amplop dan saldo rekening. Dia yang diharapkan umat sebagai pencerah seperti nabi Ibrahim, namun dia yang justru terbakar dalam kobaran api dikarenakan nafsu kaum intelektual juga menyatu dengan nafsu nafsu para tirani.

Jika Ibrahim merobohkan berhala dengan kapaknya, maka hari ini, tugas kita lebih berat: merobohkan berhala dalam diri kita sendiri. Berhala yang tak tampak, tapi menuntun kita kepada kehinaan. Berhala yang menjadikan manusia tunduk, bukan kepada Tuhan, tetapi kepada nafsunya sendiri. Jika manusia sudah mampu merobohkan berhala berhala dalam dirinya, maka yang lahir dari dalam kalbu, tidak ada kata “aku”, “ini semua karena saya”, “inilah aku dan kekusaan ku”. Yang ada hanyalah lillah, hanya untuk Allah. Kalaupun menginginkan balasan, tidak lain, kecuali balasan dari maha pencipta.

Seperti pernyataan kepada seluruh mahluk yang diajarkan al-Quran,

قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (161) قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah, “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” Katakanlah, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

 

 Ketika seluruh langkah hidup dijalani karena Allah, maka hilanglah segala kerisauan, kegelisahan, dan ketakutan. Yang tampak di hadapan hanyalah ketaatan dalam penghambaan. Inilah kunci mengapa Nabi Ibrahim mampu menghadapi tirani dan pasukan yang menindasnya.

Nabi Muhammad pernah ditawari kedudukan dan kekayaan oleh elit kafir Quraisy, termasuk oleh Utbah bin Rabi’ah. Harta melimpah dan posisi sebagai pemimpin ditawarkan kepadanya. Namun Rasul menolak, karena satu-satunya yang beliau inginkan adalah keislaman mereka. Di sinilah letak kemurnian dan ketulusan niat.

Keikhlasan melahirkan kejernihan jiwa, yang sanggup menyerap cahaya ilahi. Cahaya yang datang dari Allah takkan pernah mampu dipadamkan oleh para pendusta. Keikhlasan adalah kekuatan sejati yang melemahkan segala tipu daya dan kekuatan setan. Iblis sendiri mengakui, “Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas.”

Perlu disadari pula, dalam Islam tidak ada larangan untuk mencari harta, kekuasaan, perhiasan, dan kenikmatan dunia. Dianjurkan dalam agama agar kita terhindar dari sifat peminta minta. Namun, pertanyaan penting untuk evaluasi diri adalah: Apakah masih ada berhala dalam hati kita? Dari mana semua itu diperoleh, dan untuk apa digunakan? Siapa yang mampu menjawab dengan jujur, maka ia telah terbebas dari cengkeraman hawa nafsu. Bagi mereka yang meyakini hari akhir dan akan diminta pertangung jawaban tentu ini jadi bahan renungan yang dalam dan bermamfaat. Bukan kah 4 pertanyaan pada setiap hamba ketika disidang kelak “Umurnya, untuk apa dihabiskannya? Ilmunya, apa yang telah ia lakukan dengannya? Hartanya, dari mana ia memperolehnya dan untuk apa ia membelanjakannya? Tubuhnya, untuk apa ia menggunakannya hingga tua?

Pertanyaan hari akhir sudah diberikan kepada kita. Apakah kita sedang mempersiapkan menjawab dengan tanggung jawab ataukah kita sedang meniti langkah kegagalan dalam menjawab. Semoga Allah menganugrahkan kita iman, keikhlasan, ilmu, amal sholeh, dan Amanah.

 

Ust. Awad, M.A.

Ketua STIT Darul Hijrah

Scroll to Top